“Jangan pernah lupakan
sejarah” itulah petuah Bung Karno yang perlu kita ingat hingga sekarang. Ya,
siapapun dari kita seharusnya sadar bahwa sejarah tentang apapun itu selalu
membawa cerita dan hikmah yang mendalam. Sejarah merupakan identitas diri kita.
Mata ini baru terbuka
setelah mendapatkan materi Dokumentasi Manuskrip di
Indonesia dari Teh Sinta Ridwan pada acara Heritage Camp 2013 di
Yogyakarta. Betapa tidak ternyata kami, pemuda Indonesia banyak yang hampir
melupakan sejarahnya. Sejarah adalah tulisan. Melalui tulisan kita mengetahui
dan mempelajari kehidupan manusia pada zamannya. Sebagaimana kita ketahui bahwa
terdapat dua tradisi zaman pada masa nenek moyang kita yaitu masa pra-aksara (pra-sejarah)
dan masa aksara (sejarah).
Untuk mengetahui kehidupan pada
masyarakat pada masa pra-aksara, kita dapat melakukan penelitian terhadap
benda-benda purbakala yang ditemukan, misalnya fosil dan artefak. Karena pada
saat itu belum ada kemampuan manusia untuk mengenal tulisan. Lain halnya dengan
masa aksara, kita dapat menemukan peninggalan-peninggalan yang berupa tulisan.
Tulisan terdapat pada batu, daun lontar, kain dan sebagainya. Sehingga kita
dapat mengetahui berbagai hal yang terjadi pada masa itu.
Manuskrip kadang disebut juga naskah
lama, naskah klasik, dan naskah kuno (tergantung periode). Menurut konteks
kebudayaan dikategorikan sebagai warisan budaya kebendaan (tangible cultural heritage) yang bersifat konkrit (material culture) dan sekaligus
dikategorikan sebagai warisan budaya non-kebendaan (intangible cultural heritage) yang bersifat abstrak (immaterial culture). Manuskrip merupakan
peninggalan sejarah yang berupa tulisan tangan (handschrift) yang panjang dan lengkap. Oleh karena itu naskah kuno
dianggap sebagai salah satu sumber informasi budaya masa lampau dan merupakan
dokumen budaya, karena di dalam naskah kuno tergambar jelas mengenai alam
pikiran, adat-istiadat, kepercayaan, dan sistem nilai yang dianut pada masa
lampau.
Pada zaman klasik, selain aksara
Palawa terdapat aksara Siddamatrka dan aksara Jawa Kuna. Sebelum zaman kolonial
terdapat aksara Buda, aksara Sunda Kuna, dan aksara Proto Sumatra seperti
aksara Batak, aksara Rencong, aksara Kerinci, aksara Lampung, aksara Jawa,
aksara Bali, aksara Bugis, dan aksara Makasar.
Aksara berperan penting dalam naskah
kuno karena aksara merupakan wujud tulisan yang merekam dan menyimpan pikiran,
gagasan, perasaan, dan keterampilan nenek moyang yang telah melahirkan ilmu
pengetahuan, teknologi, sastra, dan seni. Nusantara mengenal aksara sejak abad
ke-5 M. Hal itu dibuktikan oleh penemuan prasasti Kerajaan Kutai, Kalimantan
Timur. Tulisan pada prasasti tersebut menggunakan aksara Palawa dan bahasa Sanskerta.
Seiring perkembangan zaman, bahasa dan aksara Nusantara semakin kaya dan
beragam.
Namun yang menjadi permasalahan saat
ini masih adakah orang-orang yang mampu membaca tulisan aksara? Jawabannya
adalah masih tetapi jumlahnya sangat minim. Jumlah fiologpun juga masih
sedikit. Hingga dapat diambil kesimpulan
jika orang yang dapat membaca atau mengerti bahasa dalam naskah kuno tersebut
wafat, maka bahasa akan hilang dan naskah kuno tersebut juga tidak akan bisa
dipahami atau dipelajari lagi. Kondisi fisik naskah kuno juga begitu
memprihatinkan karena kurangnya kepedulian untuk mengkonservasinya.
dengan belajar yang cukup keras akhirnya saia bisa membaca aksara jawa modern, yang kuno masih belajar bahasanya karena untuk aksaranya sedikit lebih sulit.
BalasHapusmenurut saya kita anak muda tidak perlu merasa bersalah jika kita kurang bisa memahami aksara kuno, karena memang guru yang bisa mengajari sedikit, kalaupun ada itupun mesti masuk di universitas. hampir tidak ada yang mau mengajari gratisan. ditambah kraton-kraton yang tersebar di indonesia jarang sekali mengadakan pendidikan cara membaca dan menulis aksara kuno. maka kepada siapa kalau bukan kepada pujangga kraton kita belajar???
Iya betul sekali memang wadah belajarnya masih sedikit...di keraton2 gitu juga jarang ada pelatihannya ya...hmmm sayang sekali
BalasHapus