Sebagai seorang yang baru terjun ke ranah komunitas
pecinta pusaka, saya memiliki pertanyaan awam “Mengapa ada pusaka Indonesia berada
nan jauh di Belanda?”. –Putri Agustina
Peninggalan nenek moyang bangsa
Indonesia mencerminkan peradaban adiluhung di masa silam. Salah satu maha karya
leluhur kita adalah tulisan tangan (handschrift) yang lebih dikenal dengan sebutan manuskrip.
Manuskrip
dianggap sebagai salah satu sumber informasi budaya masa lampau dan merupakan
dokumen budaya, karena di dalam naskah kuno tergambar jelas mengenai alam
pikiran, adat-istiadat, kepercayaan, dan sistem nilai yang dianut orang pada
zaman lampau. Kini, kita
sebagai pewaris budaya nusantara menghadapi problematika dalam upaya perawatan
dan pelestarian naskah klasik yang kondisinya cukup memprihatinkan.
Tidak dapat dipungkiri bahwa negara Indonesia ini telah mengalami masa kolonialisme dalam waktu yang sangat lama. Pengalaman tragis terkait penjarahan naskah dialami oleh kerajaan atau kasultanan di Indonesia. Banyak naskah yang hilang diangkut ke negara-negara penjajah, termasuk Belanda. Mereka membawa pulang untuk mempelajari manuskrip tersebut. Kaum kolonial cenderung memiliki kelebihan dalam menghargai naskah. Berbeda dengan kita yang memperlakukan naskah sebagai benda pusaka, tidak boleh dibaca sembarangan sehingga justru berisiko hancur dimakan usia.
Idealnya sebuah manuskrip memerlukan
perawatan khusus. Museum atau keraton di Indonesia sebagian besar hanya
menggunakan kapur barus. Kapur barus hanya mencengah ngengat, namun tidak bisa
menahan laju usia naskah.
Beberapa bulan
belakangan ini, saya aktif dalam kegiatan konservasi kreatif oleh pemuda
terhadap pusaka. Selama mempelajari pusaka, saya mendapatkan informasi bahwa beberapa
pusaka Indonesia khususnya manuskrip tersimpan secara apik dan aman di Belanda.
Salah satunya adalah La Galigo.
La Galigo ditulis ulang
sebanyak 12 volume oleh Colliq Pujie
atas permintaan B.F. Matthes, missionaris
Belanda. Manuskrip terpanjang di dunia yang berasal dari tanah Bugis, Sulawesi
Selatan ini merupakan bagian dari koleksi naskah-naskah Indonesia di the Netherlands Bible Society yang telah
diberikan hak permanen ke Koninklijk
Instituut voor Taal- Land- en Volkenkunde Leiden, Perpustakaan Universitas
Leiden sejak tahun 1905 s.d 1915 di Belanda. Naskah ini disimpan di lantai dua
dalam sebuah ruangan khusus bersuhu 18 derajat celcius.
Kini La Galigo masih
tersimpan rapi di sana dan menjadi salah satu naskah tua yang paling dijaga
karena sangat berharga. Siapa saja diperkenankan membaca, mempelajari dan
mendiskusikan manuskrip ini. Penjaga perpustakaan biasanya menghimbau agar
berhati-hati dalam membuka lembar demi lembar karena kertasnya sudah sangat rapuh.
Bahkan, harus diletakkan di atas bantal agar tidak mudah koyak.
Beberapa versi La
Galigo sebelum penulisan ulang telah hilang akibat serangga, iklim, dan perusakan.
Iklim di Sulawesi terlalu panas untuk manuskrip tua sedangkan Belanda memiliki
iklim yang lebih bersahabat. Banyak naskah asli La Galigo yang hancur karena
kecerobohan pemiliknya.
Selain La Galigo, masih
banyak naskah Indonesia yang tersimpan di Belanda. Di Universitas Blibiotheek
Leiden misalnya ada sekitar 239 naskah Sunda. Naskah Leiden Or 266 yang berisi
ajaran islam dikoleksi sejak tahun 1957 juga disimpan di perpustakaan
Universitas Leiden.
Sebaiknya kita bercermin kepada Belanda dalam upaya merawat
dan melestarikan warisan budaya yang rawan punah seperti manuskrip. Sudah selayaknya
manuskrip yang masih ada di Indonesia mendapatkan perlakuan khusus agar terus
menjadi bahan kajian dari masa ke masa.
Referensi:
http://bugisbelanda.blogspot.com/
http://idha2908.blogspot.com/2012/04/leiden-berkunjung-demi-membaca-melihat.html
http://lontaraproject.com/category/101-la-galigo/
http://www.kabarkami.com/mengenal-universitas-leiden-penjaga-warisan-budaya-bugis-makassar.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar