Pornografi adalah gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerakan tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat.
Konten pornografi
berupa video merupakan salah satu media yang bisa membangkitkan gairah seksual
seseorang. Bak jamur di musim hujan, sumber video-video cabul kian bertebaran
di internet.
Tanpa bermaksud
mendiskreditkan gender tertentu, menurut saya penikmat dominan video syur
adalah laki-laki. Perempuan lebih sering menjadi korban dalam masalah ini.
Berdasarkan Undang-Undang No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi, orang yang akan dikenakan ancaman pidana dari pasal 4 ayat 1-nya, yaitu bila melanggar :
Berdasarkan Undang-Undang No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi, orang yang akan dikenakan ancaman pidana dari pasal 4 ayat 1-nya, yaitu bila melanggar :
“Setiap orang dilarang memproduksi, membuat,
memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor,
menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi yang
secara eksplisit memuat:
- persenggamaan, termasuk persenggamaan yang menyimpang;
- kekerasan seksual;
- masturbasi atau onani;
- ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan;
- alat kelamin;
- atau pornografi anak.”
Pelanggaran pasal tersebut diancam pidana penjara paling singkat 6 bulan dan paling lama 12 tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp250 juta dan paling banyak Rp6 milyar (pasal 29 UU Pornografi). Kebanyakan laki-lakilah yang terjerat pidana ini, pemeran perempuan dalam video itu biasanya hanya menjadi saksi untuk penyelidikan lebih lanjut.
Sebenarnya, masih ada
kerugian lain bagi perempuan sebagai korban yang berakar dari adanya video
tersebut. Coba amati kasus fiktif yang mungkin terjadi berikut ini :
- Sebut saja “A”, penghuni kosan khusus perempuan yang ternyata di kamarnya ada kamera yang merekam segala aktivitasnya, termasuk berganti pakaian. Sampai akhirnya A menemukan video topless-nya tersebar di internet. A merasa terpukul dan stres karena menerima cibiran orang.
- Perempuan bernama “B” tinggal di sebuah kontrakan yang kamar mandinya ada satu di luar kamar dan digunakan bersama. Ternyata, ada oknum yang dengan sengaja merekam B saat sedang mandi. Sepandai-pandainya tupai melompat pasti akan jatuh juga, akhirnya pelaku tertangkap dan kepergok sedang membidik Hpnya lewat ventilasi kamar mandi. B berteriak, pelaku dihakimi masa. Ada belasan video B di HP pelaku, video itu selalu dijadikan pelaku sebagai objek fantasi untuk onani.
- Perempuan bernama “C” ini pernah berhubungan seksual dengan pacarnya, entah disadarinya atau tidak, kegiatan seksual yang dilakukan oleh mereka ada rekamannya. Pacarnya selalu meminta hubungan seksual kembali, namun C menolak. Saat C menolak, pelaku mengancam akan menyebarkan video mereka ke internet. C tidak ada pilihan, ia akhirnya menuruti nafsu birahi pelaku terus-menerus.
- Hampir sama seperti C, bagi “D” pelakunya adalah mantan pacarnya. Mantan pacar memerasnya untuk memberikan sejumlah uang dengan mengancam akan menyebarkan video syur mereka waktu dulu kepada orang tua dan calon suami korban.
Dari empat kasus di
atas, dapat kita simpulkan bahwa perempuan yang masuk dalam video asusila tertekan
secara psikologis. Mereka akan ketakutan bila videonya tersebar, merasa malu
kepada orang-orang di sekitarnya, bahkan bisa mendorong mereka untuk mengakhiri
hidup karena depresi.
Perempuan dengan
mudahnya dijadikan objek seksual oleh pelaku. Apalagi bila sampai tersebar di
masyarakat, termasuk internet. Berarti bukan hanya pelaku yang mengambil video,
tapi pendownload lainnya juga menjadikan korban sebagai fantasi seksual. Artinya, pelaku dan dampaknya pada masyarakat luas turut melecehkan korban secara
seksual.
Video syur yang diambil
langsung oleh pelaku, baik dengan paksaan ataupun tidak, akan menjadi alat
kekuasaan bagi pelaku untuk memperdaya korban. Seperti dua kasus terakhir di
atas, pelaku adalah relasi personal korban. Akhirnya, korban menjadi tidak
berdaya dan menuruti apa yang diinginkan pelaku. Seiring meningkatnya kecanggihan teknologi
saat ini, korban pasti cepat panik, khawatir video itu tersebar ke internet atau
gadget lainnya.
Maka daripada itu, yuk
sama-sama perangi pelecehan seksual via video ini. Hentikan pembuatan dan
penyebaran konten pornografi tersebut. Bagi kita para perempuan, selalu
berhati-hati dalam lingkungan yang rentan akan adanya pelecehan seksual. Jauhilah seks
pra nikah, apalagi sampai mau direkam, karena rekaman tersebut memungkinkan
untuk diduplikasi dan penyebarannya sangat cepat di internet seakan tiada pernah berakhir. Bahkan, urungkan niat untuk menjadikan rekaman seks sebagai koleksi pribadi di laptop atau gadget, bisa jadi kedua barang itu hilang atau dicuri, bayangkan bagaimana nasib koleksi-koleksi tersebut selanjutnya.
Trimakasih gan udah sare info yang sangat berguna ini. salam bloging.
BalasHapusSama-sama, terima kasih sudah mampir :)
Hapus