Tulisan
ini diikutsertakan dalam lomba blog SEE
“Pendidikan
di negeri ini akan maju dan tidak akan ada buta aksara jika KITA, yang katanya
insan intelektual mau mengabdikan diri minimal satu jam saja untuk mendidik
anak-anak di sekitar kita”.
Kurang
lebih kata-kata di atas merupakan opini yang pernah saya tulis di selembar karton yang
dibuat untuk menyampaikan aspirasi mahasiswa dalam rangka memperingati hari Pendidikan.
Masalah pendidikan masih menjadi topik utama bagi civitas akademika dan
masyarakat luas. Euforia peringatan hari pendidikan tak lupa diisi dengan
serangkaian aksi mahasiswa mengkritik pemerintahan. Saya ingin teman-teman saya
di kampus tidak hanya bicara, namun tunjukan langsung lewat hal nyata dan jelas
manfaatnya. Karena menurut saya, tidak perlu menyalahkan orang lain untuk mencari
akar masalah. Namun, sudah sejauh mana diri sendiri melakukan sesuatu untuk
menyelesaikan masalah.
 |
Putri (Indonesia), Julia (Hong Kong), dan Shelly (China) |
Pada
bulan Januari 2012, saya memilih untuk mendedikasikan diri menjadi seorang volunteer (sukarelawan) di suatu yayasan
di daerah Cipinang, Jakarta Timur. Nama yayasan tersebut adalah International Humanity Foundation atau
biasa disingkat IHF. IHF memiliki cabang di tiga negara, yaitu Indonesia,
Thailand, dan Kenya. Lokasi cabang di Indonesia berada di Aceh, Medan, Jakarta,
dan Bali. Yayasan non-profit tersebut berkontribusi
untuk pendidikan anak-anak yang kurang beruntung. Mereka adalah anak dari orang
tua yang keadaan ekonominya rendah bahkan ada yang telah menjadi yatim piatu. Ada
yang sekaligus mengeyam sekolah formal, namun ada juga yang hanya mengandalkan
ilmu dari yayasan ini. Mungkin sama seperti yayasan pada umumnya, namun saya
bisa bertemu dengan volunteer asing
di yayasan ini. Mereka dari luar negara Indonesia yang memiliki kepedulian untuk
mendedikasikan dirinya demi anak-anak Indonesia. Ada yang berasal dari China,
Hongkong, Australia, India, Spanyol, dan masih banyak lagi. Mereka menjadi
rekan kerja saya dan kami saling berbagi pengalaman. Mereka memiliki jiwa
sosial yang tinggi dan lebih memilih melakukan upaya nyata demi pendidikan.
Saya
mengajar untuk kelas 4 dan 5 pelajaran matematika yang merupakan pengalaman
pertama bagi saya. Sebelumnya saya pernah mengajar privat untuk seorang siswa sekolah dasar. Saya memiliki sembilan
belas orang adik baru. Mereka bernama Unsa, Sarah, Dewi, Ajeng, Nida, Tesa,
Arif, Isnando, Mukti, Jun, Nur Huda, Bagus, Ilham, Reda, Gandring, Nur, Sukardi,
Fatur, dan Slamet. Mereka memilki karakter yang berbeda. Ada yang pemalu,
pendiam, rajin, suka bicara, malas, dan
sedikit nakal. Awal mengajar di kelas, saya belum beradaptasi dengan semua
sikap dan sifat mereka. Hal itu membuat saya kewalahan. Saya mengajar dua kali
dalam seminggu, yaitu pada hari Selasa dan Jumat. Lokasi tempat mengajar saya
tidak begitu jauh dari kampus. Kalau saya libur kuliah, saya berangkat dari
rumah di Jakarta Barat.
Saya
merasa senang karena saya bisa melakukan sesuatu sesuai dengan passion saya, yaitu pendidikan. Saya
mengambil peluang untuk membentuk mereka agar bisa menjadi insan cerdas juga
berkepribadian luhur dengan cara mendidik mereka. Saya membiasakan
kelas berdoa sebelum pelajaran dimulai, menyampaikan materi dengan metode yang
efektif seperti reasons, problem solving, dan competition, serta menyisihkan sebagian harta saya untuk memotivasi
mereka.
Pertama,
membiasakan berdoa sebelum kelas dimulai. Hal ini bertujuan untuk menanam sisi
rohaniah dalam diri mereka. Biasanya saya menginstruksikan agar salah satu dari
mereka memimpin untuk berdoa. Saat masih ada yang bercanda-canda saat berdoa,
saya menegur mereka bahwa doa itu tidak boleh dibuat main-main. Doa harus
dilaksanakan secara serius karena langsung berhadapan kepada Sang Pencipta.
Kemudian saya menyuruh mereka mengulangi lagi dengan baik dan tertib.

Kedua,
saya menyampaikan materi dengan metode-metode yang efektif. Latar belakang
kependidikan membantu saya memahami proses belajar dan mengajar yang baik dan
mudah dipahami oleh peserta didik. Walaupun matematika bukan basic keilmuan saya, namun saya berusaha
belajar pula sebelum mentransfer ilmu kepada mereka. Saya menerapkan metode reasons, dimana metode ini dibuat agar
mereka menyampaikan apapun alasan mereka dalam menjawab soal. Hal ini
menghindari kasus mencontek diantara mereka. Saya juga menggunakan metode problem solving dengan membentuk
kelompok dan competition melalui
games yang aktraktif.
Ketiga,
saya memberi reward untuk mereka.
Pada mulanya, saya berniat untuk menyisihkan sebagian harta yang saya miliki
untuk keperluan sekolah atau belajar mereka. Kemudian saya berpikir agar melakukannya
tidak dengan cuma-cuma. Saya mengemasnya sebagai hadiah jika mereka mendapat
nilai bagus atau memenangkan games.
Ternyata
metode yang saya lakukan membuahkan hasil. Mereka telah memiliki kedekatan
emosional dengan saya. Mereka pernah mengatakan bahwa mereka senang belajar
dengan saya dan rindu jika saya tidak bisa hadir untuk mengajar mereka. Saya
merasa terharu sekali. Terhitung sudah enam bulan saya berkontribusi disana.
Walau saya sedang sibuk di Kampus, saya tetap menyempatkan diri untuk mengajar
mereka. Walau saya sedang bersantai di rumah ketika waktu libur kuliah, saya
tetap menyempatkan diri untuk mengajar mereka. Bertemu lalu melihat senyuman,
celoteh, dan kenakalan mereka merupakan ion-ion penambah semangat berjuang
dalam pendidikan. Walau jauh, walau lelah, walau tanpa gaji, saya tetap
bertahan untuk MEREKA. Biarlah mereka menjadi ladang amal saya.:)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar